Sunday 25 March 2012

Negotiation

Saya yakin setiap manusia pernah bernegosiasi dalam hidup nya, entah dalam lingkup kecil seperti, negosiasi antara anak dan orang tua, suami dan istri, penjual dan pembeli, bos dan karyawan, bahkan sampai pada cakupan yang lebih luas seperti negosiasi antara US – Korea Utara dalam masalah nuklir, Pemerintah Indonesia - GAM, dll. Negosiasi tidak pernah terlepas dari kehidupan sehari-hari kita. 




Alasan saya menulis artikel tentang negosiasi hanya karena kebetulan salah satu essay saya mengenai topic ini, jadi saya pikir apa salah nya saya mencoba untuk menulisnya dalam bahasa yang lebih sederhana sebelum masuk ke dalam bahasa akdemik yang lebih compleks.

Saya ingin focus pada penggunaan force or threats dalam bernegosiasi dan seberapa sah dan berkelanjutan strategi ini bisa di pakai untuk meningkatkan posisi saya dalam bernegosiasi. 


Pertama mungin saya akan mulai dari definisi negosiasi, menurut pengamat teori konflik, negosiasi termasuk dalam keluarga teori penyelesaian konflik seperti domination, capitulation, inaction, withdrawal, and the intervention of third parties (Rubin et al, 1994 dalam Zartman, 2000). Negosiasi juga bisa didefinisikan sebagai keputusan bersama dalam kondisi konflik dan ketidakpastian, dimana perbedaan dijadikan menjadi hasil yang tunggal (Zartman, 2000). Biasanya pihak-pihak yang berkonflik ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan bertukar informasi, khususnya dalam bentuk tawaran ataupun penolakan.


Negosiasi memiliki beberapa strategi, pertama: negosiasi (negotiation), pemaksaan atau penggunaan ancaman (force), bantuan dari pihak ketiga (3rd party), dan meninggalkan meja perundingan, (walk away). Namun ada juga yang menggabungkan keempat strategi secara bersamaan ketika sedang bernegosiasi. 


Tugas saya kali ini adalah membahas mengenai penggunaan force, bagi saya hal ini cukup lah sulit karena banyak hal yang harus di analisa dan dipahami secara mendalam. hufffff...


Sebelum membahas lebih dalam tentang force negotiation, saya juga ingin menjelaskan sedikit mengenai relasi antara power (kekuasaan) dan force (ancaman). Menurut para ilmuan realis, kata kekuasaan (power) di-indentifikasikan sebagai paksaan (force), karena hal ini merupakan suatu ideologi yang menjustifikasikan penggunaan kekerasaan atas nama kekuasaan (maaf ya kalau agak kompleks, hihiihi). Oleh karena itu, ada ilmuan yang mengatakan kalau "force indeed an element of power".


Biasanya paksaan ataupun ancaman digunakan ketika kita menghadapi lawan yang cukup keras kepala dan berpikir kalau dia(mereka) akan menang tanpa perlu bernegosiasi. Dalam kasus ini power/ force bisa digunakaan, namun tujuan penggunaan power/force disini bukan untuk membuktikan bahwa kita adalah lawan yang kuat dan tujuan utama kita adalah kemenangan, melainkan hal ini di butuhkan untuk mengajarkan lawan bahwa apa yang dipikirkannya adalah salah. Karena sesungguhnya dia(mereka) tidak akan bisa menang tanpa ada proses negosiasi (Urry, 1993). Dengan ancaman, kita juga bisa memberikan peringatan kepada lawan tentang betapa mahalnya harga yang harus dia bayar jika tidak ingin melalui proses negosiasi. 



Konsep ini bagi saya agak ambigu dan rancuh, karena saya tidak percaya pada sebuah konsep dimana pemaksaan ataupun ancaman bisa dignakan sebgai alat edukasi. Berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai seorang individu, yang namanya pemaksaan tidak akan pernah membuahkan hasil yang maksimal dan berkelanjutan. Contohnya, ketika saya SD, saya kurang begitu mampu dalam mata pelajaran matematika, setiap hari saya dipaksa oleh ayah saya untuk bisa mengerti dan pandai dalam pelajaran ini, pemaksaan ini membuat saya semakin benci untuk mempelajari matematika secara mendalam. Jadi kesimpulan saya yang namanya ancaman tetap saja ancaman, dampak negatif nya akan lebih banyak dibandingkan positif dan selamanya tidak akan pernah menyelesaikan masalah, apapun masalahnya. 

Kembali lagi ke topik force negotiation, menurut pendapat beberapa ilmuan, penggunaan force ataupun threat bisa digunakan ketika pihak lawan menarik ulur waktu pengambilan keputusan, dalam hal ini force/threat sangatlah di butuhkan karena kita bisa membuat lawan berada dalam posisi terjepit dan akan segera mengambil keputusan. contohnya simple nya, " jika dalam waktu satu minggu kamu tidak membayar utang, saya akan melapor kepada polisi". Dalam situasi seperti ini, pihak lawan akan berpikir untuk segera membayar utang daripada harus dimasukan kedalam penjara. 



Ada beberapa tipe force negotiation:

Pertama, mengancam untuk memperburuk status quo, contohnya "jika kamu tidak memberikan apa yang saya minta, maka saya tidak punya pilihan lain selain mem-boykot ataupun menyerang" (Indonesia-US). 


Kedua, mengancaman untuk membentuk koalisi, contohnya "Jika kamu tidak memberikan apa yang saya inginkan, saya akan berafiliasi dengan kelompok lainnya yang memiliki kondisi yang sama seperti saya" (Indonesia-US).

Ketiga, mengancam untuk berteman dengan musuhnya musuh lawan, contohnya "Jika kamu tidak memberikan apa yang saya inginkan, saya bisa meminta bantuan kepada orang yang lebih kuat dan bisa membantu" (Andorra-European Community).

Keempat, mengancam untuk pergi ketempat lain, contohnya "Jika kamu tidak memberikan apa yang saya inginkan, saya tahu seseorang yang bisa membantu" (Indonesia-US). 

Kelima, mengancam untuk mengubah proses negosiasi, contohnya "Jika kita tidak bisa mencapai perjanjian diantara kita, maka saya akan mencari mediator dari luar" (Andorra-European Community). 
Keenam, mengancam untuk pergi ke institusi yang lebih tinggi, contohnya "Jika kamu tidak mau mencapai kesepakatan, saya akan membawa kasus ini ke pengadilan". 

Ketujuh, mengancam untuk dipublikasikan, contohnya "Jika kamu tidak memberikan apa yang saya inginkan, saya akan membeberkan kepada media agar mereka tahu betapa tidak adilnya kamu memperlakukan saya" (Arab-Israel). 

Kedelapan, memberikan peringatan, akan adanya pertikaian internal, contohnya "Jika kamu tidak memberikan apa yang saya inginkan, kamu akan bermasalah dengan orang-orang yang ada dipihak kamu" (Arab-Israel).

Kesembilan, memberikan peringatan adanya pertikaian yang menggunakan kekerasan, contohnya "Jika kamu tidak memberikan apa yang saya inginkan, saya akan menjatuhkan kamu seperti seorang iblis yang paling kamu takutkan" (South-North) (Zartman, 2000, p. 282).

Dalam teori, konsep negosiasi diharapkan bisa menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik, dengan adanya pengambilan keputusan bersama yang bisa memuaskan pihak-pihak yang bertikai dan menciptakan perdamaian. Namun pada kenyataannya banyak proses negosiasi yang tidak memberikan solusi yang seimbang, karena adanya asymmetric dan symmetric power. Akan selalu ada yang kuat dan berkuasa yang bisa menggunakan kekuasaan nya untuk mengancam yang lemah tak berdaya untuk menyepakati keputusan yang diinginkannya. 




1 comment:

  1. Untuk hubungan antar pribadi, hasilnya tidak akan baik sebab ancaman akan meninggalkan luka perasaan yang bisa menjadi trauma berkepanjangan.

    ReplyDelete